Nasional

PEMILU 2024 MOMEN MENAKAR INTELEGENSI PEMILIH

Oleh : Pater Vitalis, CP 

Hingar bingar aroma pemilu tahun 2024 semakin gencar terasa. Para kandidat tak mengenal lelah giat berselancar membangun lobi-lobi politik. Demikian juga pemimpin-pemimpin partai terus bermanuver mencari partner koalisi yang bersenyawa dalam ideologi dan visi misi membangun bangsa. Yang tidak kalah ramainya, media sosial  diwarnai "perang dingin" antar pendukung.

Perdebatan yang sifatnya mengafirmasi keunggulan kandidat masing-masing sangat kental terasa. Atau bagaimana melakukan intersep hanya sekedar mengkritisi ide lawan, dengan menguliti rekam jejak, apa prestasinya dan ke mana kiblat politik masing-masing menuju semua dikupas dengan dilugas. Tentu, semua sepakat, ini merupakan bagian dari riak-riak demokrasi yang akan mendewasakan kehidupan berbangsa ke depannya. Sepanas apapun debat, sedalam apa pun perbedaan yang tercipta dari selera politik yang  kita bangun, nasib bangsa tetap menjadi prioritas utama. Sehingga sensitifitas yang muncul dari ketersinggungan ide, harus dilihat sebagai yang lazim dan pantas menjelang pesta demokrasi lima tahunan ini.

Pemilu, bukan tentang Prabowo, Ganjar dan Anis.

Pemilu adalah upaya strategis negara untuk terciptanya sirkulasi elit. Elit yang nanti menjadi pengambil kebijakan strategis sekaligus penentu ke mana bangsa ini bermuara.  Pemilu adalah soal penentuan nasib negeri, mengelola kepentingan publik dan kelanjutan bangsa ini ke depannya. Yaitu sebuah bangsa yang harus bertumbuh secara ekonomi, bergerak menuju kemandirian dan mampu bersaing secara global, sehingga akhirnya menjadi bangsa beraura dan beradab. Jadi pemilu melampaui Anis, Prabowo, Ganjar, apalagi kepentingan partai, keluarga dan masa depan anak. Maka pada poin ini penting sekali  kejelian dan intelegensi pemilih. Jangan memilih pemimpin hanya karena sekemah dalam iman, berasal dari suku yang sama,  punya kiblat politik yang searah, padahal minus kapasitas, kompetensi, dan miskin integritas, karena yang ingin kita menangkan setiap pemilu adalah Indonesia bukan kandidat atau jagoan masing-masing. Jangan pula memilih pemimpin karbitan, produk dinasti, menjadikan hukum sebagai gudang dalih untuk menyelubungi kekuasaan dan kepentingan karena pemimpin seperti itu hanya melahirkan tirani dan mengganggu kewarasannya dalam memimpin negeri.

Semboyan "yang mudah pun  bisa memimpin" adalah pemeo afkiran, karena tidak setiap yang muda punya uang, dan sumber daya kekuasaan. Dramaturgi politik hari ini yang menerabas pagar pembatas konstitusi tidak lebih hanya sekedar  alat oligarkhi untuk merebut kedaulatan dari tangan rakyat. Maka yang waras tetaplah menjaga gawang akal sehatmu, karena pemilu kali ini merupakan pertempuran antara kerakusan oligarkhi dan kesadaran rakyat, antara mereka yang sayang anak dan sayang bangsa.

Hindari Kandidat yang kiblat Politiknya didukung oleh Kaum Intoleran.

Indonesia merupakan negara dengan pluriformitas suku, agama, ras, kebudayaan, dll. Kita semua sepakat keanekaan itu menjadi anugerah dan kekayaan bangsa ini. Indonesia menjadi khas dan sangat istimewa karena keanekaannya, baik budaya, agama, etnisitas, bahasa juga ribuan pulau yang berjejer senusantara membentuk kekuatan yang integratif. Untuk menjaga itu butuh pemimpin yang akomodatif, netral, tanpa mau dikendalikan oleh pikiran-pikiran dan gagasan miring yang dipandu oleh kaum intoleran. Karena bagaimanapun, kaum intoleran tetap menjadi momok yang menakutkan dan seringkali mengganggu kestabilan nasional.

Semua harus paham, sebuah negara dengan dominasi intoleranisme akan kekurangan imun untuk bertahan dan kurang rekat di ranah publik, mudah pecah dan bukan tidak mungkin terjadi polarisasi dan terbentuknya negara-negara baru. Tentu hal seperti harus kita hindari, maka tanggungjawab sekarang ada di tangan anda.

Pilih Pemimpin yang siap menjadi Presiden Indonesia.

Sudah beberapa Presiden memimpin republik ini. Terima kasih untuk jasa-jasa mereka. Tetapi, tetap harus kita akui, keadilan sosial selalu menjadi diskursus dan debat tak berpinggir. Pembangunan yang tidak merata antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan menjadi wajah buram perjalanan bangsa ini. Maka pemimpin yang terpilih harus siap menjadi Presiden bagi semua, adil, berani membangun berpola Indonesia sentris, bukan boneka Partai yang hanya melayani kerakusan oligarkhi yang menghisap habis humus pertiwi.  Lalu terus berutang tapi tak berdampak pada pulihnya gizi rakyat, selain membuncitnya perut kekuasaan dan mengguritanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini yang mau kita ubah dengan memilih pemimpin yang berjiwa nasional dan pancasilais, sebab pemilu adalah pintu masuk untuk mencegah yang terburuk berkuasa, dan kendali itu ada di kedaulatan anda masing-masing.

Pulihkan Kesadaran.

Politik bukan soal perkara elektabilitas semata. Politik butuh yang disebut etikabilitas, intelektualitas, dll. Pemutlakan variabel-variabel ini membentuk kepemimpinan yang komplit, kompetitif, berkarakter dan sarat nilai. Sebab tindakan pemimpin akan menjadi tolok ukur kehidupan bernegara. Bagaimana cara-cara mendapatkan kekuasaan, akan berdampak pada keputusan-keputusan politis. Pemimpin yang beretika akan melahirkan keputusan-keputusan yang sarat moral dan berkeadilan, tetapi pemimpin yang lahir dari manipulasi hukum, penuh intrik, menghalalkan segala cara akan menjadi wabah bagi hidup berbangsa. Kita punya tiga tokoh hebat, Anis, Ganjar dan Prabowo, dengan masing-masing wakilnya. Ketiganya sama-sama memiliki peluang. Saatnya bagi anda bermeditasi, menerawang menembus batas, temukan dalam diri ketiganya, siapa yang berjuang sarat nilai? Akurasi anda dalam menentukan pilihan akan menjadi wajah bangsa di masa depan. Ingat, pemilu bukan soal memenangkan Anis, Prabowo atau Ganjar, tetapi bagaimana memenangkan Indonesia.

Prabowo-Gibran, Anis-Amin, Ganjar-Mahfud selamat berjuang. Sembur dan keluarkan ide-ide terbaik Anda untuk memajukan Indonesia. INDONESIA ABADI DI HATI.


Penulis : Alumni St. Klaus'99, tinggal di Pulang Pisau, kalimantan Tengah

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments