Nasional

Benny Moerdani, ‘Anak Emas’ 2 Presiden yang Kesepian di Usia Senja

Benny tak punya kantor dan tak jadi komisaris seperti banyak kawannya sesama pensiunan militer. Ia menghabiskan banyak hari akhirnya untuk mengobrol dengan kawan-kawannya di CSIS, seperti Harry Tjan Silalahi, Clara, dan Jusuf Wanandi.

 

SEJAK Benny Moerdani kembali bisa berjalan setelah sebelumnya terkena stroke, kembali wira-wiri bertemu kawan-kawannya sesama purnawirawan TNI, meski harus menyeret kakinya ketika berjalan. Kadang ia bepergian ditemani asistennya, kadang dijemput Laksamana TNI Purnawirawan Muhammad Arifin, mantan Kepala Staf Angkatan Laut.

Arifin juga kerap mengajak Benny ke tempat-tempat pasukan tempur. Untuk melihat tank, perwira, tamtama, dan bintara yang gagah-gagah di sana. Melihat hal-hal tersebut, wajah Benny berseri-seri.

Kendati tak lagi jelas jika berbicara, Benny kerap tersenyum kecil. Apalagi jika dipapah, melongok ke hangar pesawat. "Memang di situlah dunia beliau," kata Arifin dalam buku LB Moerdani: Pengabdian tanpa Akhir.

Beberapa tahun sebelumnya Benny merupakan anak emas dua presiden, yaitu Presiden Soekarno dan Soeharto. Benny pernah menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, jadi diplomat di Korea Selatan, membenahi organisasi intelijen, sampai akhirnya melejit bak roket menjadi jenderal bintang empat.

Namun, di usia senjanya, Benny kesepian. "Setelah pensiun, teman saya cuma itu-itu juga (tentara)," ucap Arifin kepada Benny, suatu ketika. Dengan nada datar dan tanpa senyum, Benny mengiyakan. "Itu betul."

Menurut Clara yang merupakan mantan sekretaris Benny, jika bertemu dengan geng CSIS, Benny seperti "hidup kembali". Kepada merekalah Benny banyak bertanya soal perubahan politik, kondisi negara, dan masalah dunia internasional.

Baik di rumah maupun kantor CSIS, Benny masih lahap membaca segepok koran dan buku kiriman kawan-kawannya di Amerika Serikat. Sesekali ia melukis sebagai terapi pasca-stroke. Ia juga sering menonton film perang dari cakram optik di rumahnya.

Di kediamannya di Hang Lekir, Jakarta Selatan, Benny ditemani istrinya, anak tunggalnya, dan juga seorang perawat. Untuk berkomunikasi, ia dibantu lonceng, karena ketika itu hidupnya bergerak di atas kursi roda.

(Sumber: Buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap/Tinus)

 

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments