Sosial

DPP GMNI MENEGASKAN : IMPLEMENTASI PROGRAM BUMN JANGAN HANYA MENYASAR KEPADA SATU LEMBAGA AGAMA.

Terkait dengan program pemberdayaan ekonomi pesantren oleh Menteri BUMN di sejumlah Pesantren, dinilai DPP GMNI memang positif, hanya saja perlu komprehensif, tak hanya berpusat pada lingkup Pesantren saja tetapi juga ke Yayasan Kotolik Protestan dan Yayasan lainnya.

Setidaknya BUMN sudah megantongi data-data mengenai keberadaan Sekolah Berasrama, selain Pesantren yang jumlahnya sekitar 26.900an, tersebar dari Aceh hingga Papua. Sekolah Berasrama ini juga berpotensi untuk digagas kemandiriannya, apalagi Sekolah Berasrama yang dimaksud di sini bukan milik Negeri, melainkan Swadaya atau Yayasan Kecil. 

Untuk menyasar wilayah ini, diperlukan pemutakhiran data antara BUMN dan Kemendikbud. Memang arah Pendidikan Nasional kita seperti yang digambarkan oleh Ki Hajar, bersistem asrama, itu jelas dalam tulisan-tulisan beliau berjudul "Pendidikan". Ki Hajar di situ mencontohkan Pesantren, itu artinya Sekolah Berasrama sebenarnya adalah terminologi lain dari Pondok Pesantren.

Dalam perkembangannya, memang Sekolah Berasrama lebih banyak dikemas oleh Yayasan Katolik, tapi saat ini, ada juga Sekolah Berasrama milik Pemerintah, juga Yayasan Islam. Dari 10 Sekolah Berasrama terbaik, terdapat Internasional Islamic Boarding School Bekasi, Pangudi Luhur Vanlith, dan Santa Maria Jakarta.

Dari situ jelas, konsepsi Pendidikan Nasional memang berdasar pada sistem Pondok Pensantren, dengan tetap mengacu pada kemandirian, sebagaimana Ki Hajar memandirikan Taman Siswa. 

Jadi, Menteri BUMN sekiranya perlu memahami dengan benar ide kemandirian ekonomi dalam tingkat Sekolah, baik untuk klaster Pondok Pesantren maupun Sekolah Berasrama. Karena pada hakekatnya, Sekolah Berasrama itu ruhnya berangkat dari sistem Pondok Pesantren.

Kalau hanya fokus untuk kemandirian Pondok Pesantren saja, kami menilai Menteri BUMN tidak memahami semangat kemandirian sistem pendidikan di tingkat satuan pendidikan yang terilhami oleh pikiran-pikiran Ki Hajar Dewantara. Dan kalau tak meluaskan fokus kemandiriannya itu, maka maaf, menurut kami, beliau sementara "cari muka" dengan Dunia Pesantren. 

Padahal, antara sistem Pondok Pesantren dan sistem Sekolah Berasrama tidak boleh dipilah. Kalau tidak mau dicap sekuler, toh gagasan Pendidikan Nasional memang seyoginya mengarah pada model Pondok Pesantren, tujuannya jelas, agar injeksi ideologis lebih terarah di sana. 

Dari situ, Sekolah Berasrama baik Islam, Kristen, atau Agama Apapun, atau Sekolah Berasrama konsep Non teologis perlu diperhatikan secara menyeluruh.

Selanjutnya, kami juga meminta kepada Kemenag untuk menindaklanjuti hal ini, kepada Sekolah Berasrama. Klaster Sekolah Berasrama ini jangan dibiarkan mengambang, baik Sekolah Berasrama Islam, apalagi Sekolah Berasrama yang dimiliki Yayasan Katolik, Protestan dan Yayasan lainnya.
 
Dengan begitu, Negara perlu meluaskan terminologi Pondok Pesantren dalam kaitannya dengan pengembangan Sekolah Berasrama. Agar keadlian dan indoktrinasi ideologis, dalam hal ini Pancasila, dapat terjaga secara maksimal melalui Pondok-pondok Pesantren dan Sekolah Berasrama. Sekaligus perlu juga dievaluasi kurikulum tingkat sekolah berasrama secara berkala, termasuk Pondok-pondok Pesantren, bila terdapat adanya dugaan tidak menghormati bendera atau tindakan sejenisnya, seperti yang terjadi tahun kemarin di beberapa wilayah.

Jangan sampai terbalik, di tengah era disrupsi seperti ini, fokus penangkalan ideologis bukan hanya di Pesantren, melainkan di Sekolah dengan sistem Asrama juga harus disasar. Komentator Sujahri Somar Sekjend DPP GMNI.

 

(Yustinus Tenung)

 

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments