Nasional

Sebuah Mimpi, ‘Sakramen Politik’

Oleh : DR. Ignasius Iryanto

Menurut ajaran Gereja Katolik, Sakramen adalah tanda yang kelihatan dari Rahmat Allah yang tidak kelihatan, Rahmat Allah yang dianugerahkan ke manusia yang diterima bergabung dalam keluarga Allah, ditampilkan dalam wujud Sakramen Pembabtisan. Begitu juga sakramen sakramen lainnya yang jumlahnya ada 7 sakramen itu, ada sakramen pertobatan dan pengampunan dosa, sakramen penguatan/ minyak suci, sakramen krisma atau pendewasaan iman, sakramen ekaristi/penyatuan dengan tubuh mistik Kristus, Sakramen pernikahan dan sakramen imamat/ pentahbisan seorang imam. 

Karena itu saya terprovokasi Ketika dikirimi sebuah buku oleh Ama Bona Beding dengan judul Sakramen Politik. Sangat penasaran, apa isi buku ini yang ditulis oleh Romo Dr. Eddy Kristiyanto OFM, pengantar oleh Dr. Ignas Kleden dan suatu catatan kritis oleh Pater Dr. Paul Budi Kleden SVD, pemimpin Serikat Sabda Allah dunia saat ini. Pertanyaan utama yang muncul segera dalam pikiran saya adalah apakah politik itu mau disebut dan dianggap sebagai sakramen juga ???

Ini buku isinya tidak ringan. Karena itu saya tidak akan sok Jago mau menguraikan isi buku ini secara utuh. Namun saya akan mencoba menyederhanakan pemahaman saya atas isinya, sejauh yang saya pahami saja. 

Iya benar, para penulis buku ini mengusulkan bahwa politik juga bisa dilihat sebagai sakramen, tentu tidak dengan pemahaman kanonik liturgis namun lebih pada interpretasi teologi sosial politik.

Diusulkan demikian karena politik pun jika dihayati dan dijalankan dengan benar, bisa menjadi tanda yang kelihatan dari hadirnya rahmat Allah yang tidak kelihatan. Rahmat Allah itu hadir dalam bentuk kesejahteraan Bersama,  jika politik dihayati dan dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan Bersama (bonum Communae). 

Karena itu para penulis umumnya merekomendasikan agar gereja katolik dan umat katolik wajib sadar politik bahkan wajib berpartisipasi dalam politik, khususnya politik yang menghadirkan Kesejahteraan umum. Politik disini dipahami dalam arti yang luas dan tidak terbatas pada politik kekuasaaan semata. 

Kewajiban umat katolik untuk aktif tersebut juga datang dari kesadaran teologis akan esensi karya penyelamatan Tuhan atas manusia. Memori akan Tuhan yang berinkarnasi dan yang hadir Bersama manusia, Tuhan yang inklusif dan secara langsung aktif membela kelompok kelompok lemah dan menjadi oposisi terhadap kekuasaan kekuasaan baik negara maupun agama yang ada saat itu dan yang berada di Menara Gading dan menekan kehidupan rakyat dan umat. 

Tuhan dalam memory Kristen adalah Tuhan yang politis. Dan menjadi pengikut atau Murid Tuhan yang politis, yaa harus juga politis dalam arti harus aktif dalam ikut serta membangun peradaban dan kesejahteraan umum, ikut mengadvokasi dan membela kelompok kelompok yang terpinggirkan. Tindakan Tindakan itu tidak lain adalah konsekuensi dari menjadi Kristen dan menjadi pengikut Kristus, sang Sabda yang menjadi daging. Sekarang saya makin paham tulisan di Komunitas mahasiswa Katolik Internsional di Berlin ( KSG st. Thomas Morus Berlin) Ketika sempat aktif disana dulu: Christ Sein heisst politisch zu Sein: menjadi Kristen artinya menjadi politis.  Dalam konteks memilih pemimpin politik, pedomannya sama, pemimpin yang dipilih adalah pemimpin politik yang paling mampu mewujudkan kesejahteraan umum. 

Ciri ciri dari politik sebagai sakramen, yang menghadirkan kesejahteraan umum tersebut adalah politik yang baik proses politik maupun output politiknya: Selalu mempersatukan bangsa dan membangun kolaborasi. Jika dalam proses outputnya dia menghasilkan perpecahan dan permusuhan, maka itu bukan politik yang dimaksud, Selalu mengurangi kemiskinan dan kesengsaraan hidup dalam berbagai bentuk. Artinya, jika proses politik maupun produknya berujung pada pemiskinan rakyat dan menyengssarakan rakyat, politik seperti itu harus dijauhin, Selalu berujung pada peningkatan kecerdasan dan mengurangi kebodohan.

Jadi proses politik maupun output politik yang menggunakan kebohongan dan hoax bukan merupakan bagian dari politik menuju bonum communae, Dalam konteks proses politik, selalu berasaskan nilai nilai luhur Kristiani seperti kejujuran, keterbukaan, respek serta jauh dari kebohongan dan hoax, manipulasi serta penghinaan terhadap sesama. 

Oleh karena itu, jika umat Katolik yang juga sepakat bahwa politik sebaiknya juga menjadi Sakramen bagi seluruh bangsa dan sesama  warga bangsa yang lain  yang setuju bahwa tujuan akhir dari politik adalah terwujudnya Kesejahteraan Umum, maka dalam memilih pemimpin politik harus memiliki keyakinan bahwa dalam rekam jejak mereka di dunia politik, sudah terbukti bahwa semua proses politik yang mereka jalani maupun produk politik yang mereka hasilkan dalam berbagai jabatan publik yang telah pernah diemban, mereka selalu merangkul dan mempersatukan seluruh bangsa, selalu meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan bangsa dan memperlakukan sesama bangsanya dengan kelembutan dan menjauhi segala bentuk Tindakan kekerasan yang menyengsarakan dan memiskinkan sesama sebangsanya.

Antara primus inter Pares dan Minus malum. Namun jangan juga salah paham. Pemimpin yang baik tidak dengan sendirinya mampu menghadirkan politik sebagai sakramen. Itu hanya mungkin dikerjakan oleh teamnya bahkan Bersama dengan masyarakat sipil yang didukung rakyat.  Karena itu kita berdoa juga agar pemimpin terpilih akan memilih pembantu pembantunya dari figure figure yang bersih dan berintegritas, yang terbiasa hidup sederhana dan mampu menyatu dengan rakyat. 

Pemimpin yang inklusif harus menjadi pilihan umat Kristen katolik karena berkaca pada teologynya sendiri…Tuhan yang diimani adalah Tuhan yang inklusif, yang hidup Bersama umatnya, tidak menjaga jarak, berbaur dengan para pendosa. Pemimpin yang sadar untuk mengangkat rakyatnya, dia harus bersentuhan dengan mereka, memahami mereka bahkan ( pernah)  ikut mengalami penderitaan mereka. Itu prinsip dari pemimpin yang inklusif.  

Prinsip ini tentu sangat ideal dan sebenarnya berbasis prinsip itulah muncul seruan untuk cukup memperhatikan prestasi serta rekam jejak positip dari semua calon pemimpin. Dengarkan program kerjanya dan berilah penilaian bagaimana kesesuaian antara program kerjanya dengan rekam jejaknya sebelumnya. Dalam ini kita asumsikan bahwa semua calon pemimpin kita adalah orang orang baik dan kita hanya harus memilih yang terbaik dari yang baik baik ini. 

Istilah pemimpin adalah  Primus Inter Pares berlaku disini. Para calon pemimpin berlomba menonjolkan kebaikannya, tim suksesnya berlomba menunjukkan kebaikan dari calon yang dia promosikan. Kampanye positip akan menjadi cirinya. Daftar pengalaman dan prestasinya selama karir sebelumnya akan menjadi factor pembanding dari ketiga pasang calon presiden kita. 

Namun tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kelemahan disamping keunggulan dan keburukan di samping kebaikan. Kita juga tidak sedang memilih calon santo dan santa. Jika acuan kita adalah factor factor negatip dari calon maka kita menggunakan prinsip minus malum, yaitu  tidak memilih yang terburuk,  memilih yang paling tidak buruk dari yang buruk buruk.  Secara praktis, calon pemimpin yang terindikasi korup, pernah berkolaborasi dengan kelompok radikal yang membawa isu perpecahan dan diskriminasi, juga yang terindikasi dengan proses yang memiskinkan rakyat, merusak lingkungan serta yang memiliki track record penggunaan berita bohong dan hoax sepanjang karier politiknya, adalah tokoh tokoh yang tidak layak dipilih dalam kontestasi politik di level apapun.

Dalam Bahasa Romo Prof Dr. Franz Magnis Suseno, jangan pilih pemimpin dengan catatan buruk masa lalu terbanyak. Selalu ada resiko berbagai pengalaman buruk itu bisa terulang…walau kini dia terlihat berubah. Yang seperti ini mungkin tidak akan menghadirkan politik sebagai sakramen melainkan politik sebagai kutukan. 

Dalam managemen modern, dikenal istilah Risk based Thinking, yang menadi roh dari management resiko dengan obyektif utama menjamin keberlanjutan dari organisasi yang dikelola, dari skala kecil hingga skala raksasa seperti sebuah negara. Prinsipnya, identifikasi resiko yang bisa muncul, memberikan skala atas resiko resiko tersebut, merumuskan mitigasinya, melakukan control terhadap pelaksanaan mitigasinya dalam bentuk corrective action.  Prinsip Minus malum dalam pilpres adalah bentuk mitigasi resiko demi keberlanjutan negara. Ini bukan bentuk kampanye hitam, justru ini bentuk kampanye cerdas yang sangat rasional serta berbasiskan data. 

Apa kemungkinan kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi jika si calon pemimpin menjadi pemimpin. Acuannya, mau tidak mau Kembali ke rekam jejaknya. Apa hal hal yang memiliki daya rusak pada peradaban dan kesejahteraan yang pernah dilakukan sebelumnya. Ini penting, bukan untuk menghukum namun sebagai pengingat bahwa walaupun kesalahan-kesalahan itu sudah dimaafkan atau hukuman atasnya sudah dijalankan dan sang tokoh sudah mengatakan bahwa dia bertobat dan tidak akan melakukannya lagi, tetap saja faktor bahwa dia pernah melakukannya harus masuk sebagai faktor resiko yang harus dihitung. 

Dengan prinsip ini, jelas pilihan harus diberikan kepada calon pemimpin yang paling kecil resikonya, jadi dari sudut rekam jejak, paling sedikit catatan tentang kesalahan kesalahan masa lalu yang bersifat destruktif buat peradaban dan kesejahteraan umum. Daftar kesalahan  atau keburukan atau Tindakan destruktif pada peradaban bangsa dari ketiga passang calon yang akan menjadi factor komparasi. Kita memilih yang paling kurang buruk dan efek destruksi yang kecil. Syukur syukur  kita dapatkan figure dengan catatan hitam yang sama sekali tidak ada. 

Dengan dua prinsip ini: Primus inter pares dan minus malum, kita bisa memilih secara rasional, dingin tanpa perlu menjelek jelekan apalagi memfitnah calon calon lain karena rekam jejak tiga calon itu sudah sangat kasat mata. Untuk generasi muda yang lahir tahun 2000an mesti rajin mengecek rekam jejak di masa lalu dari semua calon tersebut. Jangan hanya percaya pada info info yang beredar atau disebarkan oleh team team kampanye mereka. Juga jangan hanya percaya pada calon hanya karena berusia muda dn seumuran dengan kalian. Dua prinsip diatas juga harus diterapkan.


*) Penulis Pemerhati Sosial dan Politik tinggal Jakarta

 

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments