JAKARTA - Penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai melanggar prinsip-prinsip aturan hukum dan menabrak rasa keadilan.
Kuasa Hukum Sekjen PDIP Ronny Talapessy menjelaskan, Praperadilan yang diajukan dalam penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK didasari adanya prinsip Exclusionary Rules atau Ex Rules.
Ex Rules adalah doktrin yang mewajibkan hakim untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum (alat bukti menjadi tidak sah) dalam persidangan. Ronny menjelaskan, prinsip Ex Rules memberi konsekuensi bahwa apabila bukti tersebut diperoleh dengan jalan yang tidak sah, maka demi hukum bukti yang diperoleh secara tidak sah tersebut haruslah tidak diperhitungkan dalam pemeriksaan di pengadilan.
"Kesemua alat bukti evidence akan dikesampingkan apabila perolehannya ternodai oleh tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dan yang bertentangan dengan hukum," jelas Ronny Talapessy dalam sidang Praperadilan di PN Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).
Nah, pernyataan Ronny ini merujuk pada perlakuan penyidik KPK yang telah melakukan penyitaan terhadap barang milik pemohon (Hasto, red) yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melanggar KUHAP. Proses penyitaan oleh KPK terhadap barang milik pemohon tidak sesuai prosedur.
Penyitaan oleh KPK terhadap barang milik Hasto mengandung cacat formil dengan menyamar, memakai topi, memanipulasi, merampas dan memeriksa tanpa izin tidak sesuai peraturan perundang- undangan.
Kejadiannya merujuk saat penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap barang milik Hasto melalui asisten/stafnya Kusnadi pada 10 Juni 2024, tanpa melalui proses penegakan hukum yang benar.
Dimana pada saat pemeriksaan diri Hasto sebagai Saksi, Kusnadi sebagai asisten/stafnya, sebelumnya tidak pernah dipanggil dan/atau dimintai keterangan sebagai Saksi/Tersangka tindak pidana lainnya.
Namun faktanya, pada saat Hasto diperiksa KPK, pada sekitar pukul 10.40 WIB, Kusnadi menunggu di luar halaman gedung KPK sambil duduk sendiri dan merokok, kemudian datang seseorang dengan menyamar, memakai baju putih, memakai topi, memakai masker, membohongi dan memanipulasi seolah-olah mengatakan bahwa Kusnadi dipanggil oleh “Bapak”.
Karena biasa memanggil Hasto sebagai “Bapak”, Kusnadi merasa bahwa dirinya memang dipanggil oleh Hasto. Seketika itu ia langsung merespons dengan naik ke lantai 2 gedung KPK RI menggunakan tangga, diantar oleh seseorang berbaju hitam dan memakai masker hitam. Sedangkan yang berbaju putih naik ke lantai dua menggunakan lift.
Kusnadi belakangan baru mengetahui orang yang menyebut bahwa ia seolah dipanggil Hasto, adalah Rossa Purbo Bekti. Faktanya Hasto tidak pernah memanggil Kusnadi. Dan Kusnadi langsung ditanyakan dan dimintakan keterangan di ruang pemeriksaan serta dilakukan penggeledahan dan penyitaan atas barang milik Hasto dan Kusnadi.
Penyitaan ini tidak memiliki dasar hukum karena hanya berlandaskan pada Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti Nomor : STTBB/1284/DIK.00.05/23/06/2024, tanggal 24 April 2024 yang tidak diketahui STTBB terhadap siapa, Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-03/KPK/01/2020, tanggal 9 Januari 2020; Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020; Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/07B.2020/DIK.00/01/05/2023, tanggal 5 Mei 2023.
“Termohon telah melakukan perbuatan melawan hukum dan cacat formil dalam melakukan Penggeledahan dan Penyitaan sebagaimana syarat-syarat yang dicantumkan dalam KUHAP," kata Ronny.
Pelanggaran formil dalam penyitaan a quo, diantaranya melakukan penyitaan tanpa adanya izin penetapan pengadilan; melakukan penyitaan tanpa pemberitahuan dari Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI); melakukan penyitaan terhadap 11 barang bukti lainnya yang tidak ada hubungan dengan perkara tanpa izin penetapan pengadilan yang cacat formil tersebut.
Selain itu, Termohon dalam melakukan Penyitaan telah mengakses, menguasai milik Pemohon tanpa hak dan melawan hukum karena tidak berdasarkan prosedur penggeledahan dan penyitaan sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) KUHAP.
Termohon tidak boleh menyita sebagai upaya paksa terhadap benda yang seluruh dan sebagian bukan diperoleh hasil kejahatan atau dipergunakan langsung untuk kejahatan, dibuat khusus untuk kejahatan dan mempunyai hubungan langsung dengan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP.
Termohon juga dianggap telah melanggar prosedur formil dengan tidak memberikan alasan yang cukup dasar hukum izin penyitaan dari Pengadilan dan telah menerbitkan Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti kepada PEMOHON tertanggal dengan tanggal bulan yang berbeda.
“Yaitu SURAT Tanda Penerimaan Barang Bukti Nomor STTBB/1284/DIK.00.05/23/06/2024, tanggal 24 April 2024, dilakukan Berita Acara Penggeledahan Badan/Orang tanggal 10 Juni 2024, dan Berita Acara Penyitaan oleh TERMOHON tanggal 10 Juni 2024 secara melawan hukum dan cacat formil telah melanggar ketentuan dalam UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, tanggal 4 Mei 2021.”
(Samhadi)
0 Comments