Sosial

Konsolidasi Ideologi di Tengah Gerakan Desukarnoisasi Yang Masih Menghantui

Oleh : Laksamana Muda TNI (Purn) Untung Suropati


Konsolidasi internal Gerakan Pemuda Marhaenis atau GPM pasca-kongres mencakup dua agenda besar, yaitu konsolidasi organisasi dan konsolidasi ideologi. Penataan organisasi dan ideologi menjadi sangat krusial mengingat GPM telah mati suri lebih dari setengah abad. Tanpa organisasi yang solid didukung kader-kader Marhaen militan yang bewust ideologi, kebangkitan GPM tidak akan membawa perubahan apa pun.

Terlebih GPM bangkit tepat di tengah ketika gerakan desukarnoisasi yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis masih kuat. Sudah bukan rahasia gerakan politik yang bertujuan menafikan ketokohan, kepahlawanan, dan jasa Sukarno itu berdampak sangat masif. Antara lain makin merosot dan memudarnya nilai-nilai Pancasila, bias dan kaburnya identitas dan jati diri bangsa, serta rapuh dan rusaknya sendi-sendi kehidupan bernegara. 

Di bidang ideologi, desukarnoisasi mengakibatkan Marhaenisme, mahakarya pemikiran Sukarno mati suri. Padahal Marhaenisme sejatinya adalah teori sekaligus ideologi perjuangan rakyat yang menjadi asas dan panduan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan sejak masa prakemerdekaan. Terbukti, Indonesia akhirnya benar-benar merdeka. 

Rumusan Pancasila usulan Sukarno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 pun tidak terlepas dari teori ini. Itulah sebabnya bagi kaum Marhaen, Pancasila adalah pancaran ruh Marhaenisme. 

Di bidang politik, desukarnoisasi menyebabkan UUD NRI 1945 menjadi liberal-kapitalistik alias kehilangan karakter kerakyatannya. Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi - dua pilar utama Marhaenisme - tidak lagi jelas jabaran dan praktiknya. Tidak aneh kini oligarki makin kuat dan tentakelnya menjulur kemana-mana. Ringkasnya, pasca-empat kali amandemen konstitusi kita telah kehilangan ruh Marhaenismenya. Tidak jauh berbeda di bidang ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Bukti gerakan desukarnoisasi dampaknya sangat masif. 

Kondisi tersebut diperparah globalisasi yang melanda dunia dekade 1980-an. Karena selain berdampak positif, globalisasi sebagai konsekuensi logis pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi - khususnya teknologi informsi - juga berdampak negatif. Terutama bagi negara-negara yang kurang adaptif dan responsif mengantisipasinya. Tidak heran beragam jenis kejahatan lintas negara kini bermunculan. Contohnya drug smuggling, human trafficking dan money laundering. Demikian pula aksi kekerasan berbasis agama, seperti puritanisme, radikalisme dan ekstremisme/ terorisme. 

Sesaat sebelum memulai pidato tanggal 17 Agustus 1957 berjudul "Suatu Tahun Ketentuan", Sukarno membacakan ikrar "Revolusi Agustus". Menurut Sukarno peristiwa 17 Agustus 1945 adalah sebuah revolusi karena mengandung unsur dobrak dan bangun. 
Mendobrak penjajahan, membangun Indonesia merdeka. "Revolusi Agustus" berisi lima agenda strategis, yaitu 1) Naskah Proklamasi, 2) Bendera Merah Putih/ lagu kebangsaan Indonesia Raya, 3) Dasar negara Pancasila, 4) Konstitusi UUD NRI 1945, dan 5) Mewujudkan masyarakat sosialisme Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur berdasar Pancasila. Dari seluruh agenda, hanya no. 5 atau agenda terakhir yang belum tuntas. Itulah sebabnya Sukarno menegaskan revolusi belum selesai. 

10 tahun kemudian Sukarno kehilangan kekuasaan, tiga tahun berikutnya sang proklamator wafat. Sejak itulah seperti telah diuraikan, Indonesia terus mengalami turbulensi. Setelah kepergian Sukarno, ajaran Marhaenisme pun redup. Tragisnya PNI satu-satunya parpol berasas Marhaenisme menyusul kepergian sang patron. Beberapa ormas Marhaenis memang masih bertahan. Tapi keberadaan dan kiprahnya tidak jelas.

Disinilah kebangkitan GPM menjadi sangat penting dan di tunggu, karena GPM lah yang diharap mampu membuat Marhaenisme bersinar kembali. GPM lah yang di gadang-gadang mampun menjadi cucuk lampah dan membuka jalan bergeloranya kembali revolusi yang belum selesai.

Merdeka !!!

 

 

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments