P. Raya

Pengesahan RUU TPKS Untuk Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual

PALANGKA RAYA - Hari ini (Selasa, 12/4) merupakan hari bersejarah bagi gerakan perempuan Indonesia. DPR RI dalam Rapat Paripurna telah mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR RI Ke-19 masa siding IV tahun siding 2021-2022. Lahirnya kebijakan itu merupakan bentuk keberpihakan negara pada banyaknya korban kasus kekerasan seksual. Kehadiran Undang-undang ini tidak terlepas dari perjuangan berbagai pihak mulai dari pendamping korban, akademisi, organisasi masyarakat sipil, DPR RI, Pemerintah terutama para korban kekerasan seksual. 

Sejak 2015 FPL (Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan) dan Komnas Perempuan terus mendorong negera menerbitkan kebijakan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada pendokumentasian kasus oleh FPL selama 10 tahun yang menunjukan kasus kekerasan seksual sulit diproses hukum.

Pada 2016, FPL sebagai penggagas RUU TPKS mendorong  DPR memasukan RUU TPKS (saat itu bernama RUU PKS) ke dalam Prolegnas.

Namun DPR sama sekali tidak melakukan pembahasan, dan kemudian 2021 kembali masuk Prolegnas dan dilakukan pembahasan serta pembahasan lanjutan pada 2022 secara intensif dan selesai pada 6 April 2022.

UU TPKS merupakan contoh baik dari kerja bersama antara Masyarakat sipil, pemerintah dan Parlemen dalam menghasilkan sebuah Undang-Undang. FPL, JMS dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi Panja RUU TPKS Baleg RI yang menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS dengan memberi ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan. 

FPL, JMS mencatat hal penting sebagai capaian. RUU TPKS telah memasukan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.

Selain itu adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.

Melarang pelaku KS untuk mendekati Korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban KS agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku.

Ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.

Meski banyak capaian, RUU TPKS tetap menyisakan Pekerjaan Rumah. Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP. Menjadi Pekerjaan Rumah juga bagi FPL dan JMS untuk menawal RUU KUHP.

Pekerjaan Rumah FPL dan JMS selanjutnya adalah melakukan advokasi peraturan turan dari UU PKS. Hal ini perlu dilakukan agar RUU TPKS setelah disahkan segera bisa dilaksanakan. Pemerintah harus melibatkan FPL dan JMS dalam menyusun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dimandatkan UU TPKS agar pelaksanaanya sesuai dengan kondisi lapangan.

 

(Aleksis)

You can share this post!

0 Comments

Leave Comments