Oleh : Hasto Kristiyanto
Dalam seluruh perjuangan para pendiri bangsa, imajinasi Indonesia Merdeka bukanlah sekedar merdeka dalam pengertian politik. Sebab, ketika atas nama bangsa Indonesia Bung Karno membacakan teks proklamasi, di dalamnya terkandung spiritnya kemerdekaan; pemindahan kekuasaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ke dalam pemerintahan negara Indonesia; dan penegasan kedaulatan wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke; hingga tekad untuk mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di luar hal itu, kemerdekaan Indonesia juga memiliki imajinasi jauh, membentang luas menuju cita-cita umat manusia sedunia. Dalam bentangan cita-cita ini, para pemimpin bangsa khususnya Bung Karno bertekad agar Indonesia menjadi bangsa pemimpin.
Syaratnya Indonesia harus berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri, dan memiliki kepribadian yang membangun karakter bangsa pejuang, bangsa pelopor, dan bangsa yang terus mengasah harapan dan cita-citanya melalui rasa percaya pada kekuatan sendiri.
Dalam proses menjadi pemimpin bagi dunia itu disadari pentingnya cita-cita bersama yang berakar dari Pancasila sebagai falsafah bangsa. Pancasila sendiri bukan lahir tiba-tiba. Ia lahir dari proses dialektika panjang yang mewarnai sejarah peradaban bangsa, baik sejarah dalam masa gemilang, maupun sejarah ketika masuk dalam alam kolonialisme. Seluruh proses dialektik tersebut akhirnya menjadi kristalisasi nilai, falsafah, dan pandangan hidup, yang kesemuanya tidak pernah terlepas dari jati diri bangsa yang berketuhanan; mengedepankan pemahaman terhadap kemanusiaan; memiliki ikatan atas perasaan senasib sepenanggungan yang melahirkan konsepsi kebangsaan; serta kesatu-paduan rasa dengan tanah air Indonesia. Dalam jati diri bangsa itu terbangun cita-cita untuk mencapai kemakmuran bersama dalam suatu tatanan masyarakat Indonesia yang penuh dengan tradisi musyawarah dan gotong royong. Itulah Indonesia kita, Indonesia sebagai taman sari bagi dunia.
Namun dalam perspektif kepemimpinan dunia, telaah secara kritis diperlukan, dengan melihat keseluruhan spirit pada masa kepemimpinan Sukarno dan kemudian melihat realitas saat ini. Sekiranya penilaian dilakukan jujur dan obyektif, nampak bahwa kepemimpinan Indonesia pasca dijatuhkannya Bung Karno menunjukkan kemunduran, terutama dalam spirit, keyakinan diri, dan kemampuan menggalang bangsa-bangsa di dunia. Kemunduran dalam kepemimpinan baik ke luar maupun ke dalam terjadi ketika Pancasila pada masa Orde Baru ditampilkan sebagai alat kekuasaan; alat pembenaran bagi segelintir elit yang mengklaim dirinya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pancasila saat itu menjadi alat penindas terhadap siapapun yang bersikap kritis.
Kenyataannya, dengan berkedok Pancasila, Orde Baru hanya melindungi kepentingan kroni kekuasaan Suharto melalui rancangan sistemik terhadap apa yang disebut budaya nepotisme, kolusi, dan korupsi (NKK). Ketika akumulasi NKK mencapai puncak terciptalah krisis. Kemudian solusi atas krisis juga tidak dilakukan dengan mencari jawaban, atau melakukan terapi ke dalam dengan menggali keseluruhan dokumen historis yang benar tentang apa dan bagaimana konsepsi Indonesia Merdeka. Demikian halnya yang berkaitan dengan mengapa Indonesia bisa merdeka, dan bagaimana proses Indonesia merdeka itu nampak tidak masuk diskursus publik ketika reformasi terjadi. Padahal proses mencapai Indonesia merdeka dengan melawan kolonialisme Belanda disertai bangkitnya kesadaran yang menggelorakan cita-cita, heroisme; juga penuh dengan strategi, dan muatan pemikiran ideal dengan mengedepankan sikap kenegarawanan para pendiri bangsa.
Alam reformasi diakui memiliki tugas penting guna membongkar watak kekuasaan Orde Baru yang otoriter, elitis, militeristik, dan penuh dengan praktek NKK. Namun dalam perjalanannya, alam reformasi juga menampilkan euforia ketika berbagai upaya pembongkaran tersebut ditunggangi oleh kepentingan lain yang berniat merubah sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia dengan meniru praktek demokrasi politik dan sistem ekonomi ala Barat. Bahkan, sistem ala Barat itu dijadikan solusi baru sebagai jawaban otoritarianisme Suharto.
Ketika “Asal Bukan Suharto” bergema kuat, menjadi euforia, lalu menjelma untuk mengganti apapun yang berbau Orde Baru, kesadaran publik pun ikut terbawa dengan persepsi bahwa Pancasila dan UUD 1945 pun sepertinya terkait dengan Suharto. Akibatnya, Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan, dan UUD 1945 diamendemen empat kali. Publik dan suasana kebatinan politik sepertinya lupa, bahwa otoritarianisme Suharto terjadi bukanlah akibat kesalahan Pancasila dan konstitusi negara. Karena itulah apa yang berkaitan dengan apa dan bagaimana konsepsi Pancasila dan UUD 1945 yang benar, luput dalam diskursus reformasi. Situasi inilah yang menyebabkan betapa mudahnya perubahan sistem nilai dan praktek demokrasi menjadi reproduksi ala Amerika Serikat. Dalam proses tersebut peran dari National Democratic Institute dan International Republican Institute sangat penting. Merekalah pelopor reformasi kelembagaan politik. Bukan kebetulan Amien Rais yang berpendidikan di Amerika Serikat kemudian memberikan ruang yang begitu besar bagi bekerjanya the global reproduction of American Politics tersebut.
Ketika proses reformasi sudah menjadi euforia, hal-hal yang fundamental berupa koneksitas historis yang menggali keseluruhan mutiara konsepsi kenegarawanan para pendiri bangsa pun tidak digali lagi. Sementara itu, jauh sebelumnya, selama lebih tiga dekade Orde Baru, bangsa Indonesia sudah digelapkan sejarahnya dengan berbagai manipulasi sejarah. Akibatnya pun fatal, reformasi bukannya menggali keseluruhan muatan stratejik tentang bangsa dan negara Indonesia, namun justru terseret pada arus liberalisasi yang semakin kuat. Tentu hal tersebut bukan kesalahan era reformasi semata karena reformasi terjadi pada situasi politik yang tidak stabil di tengah kesengsaraan rakyat akibat krisis moneter dan ekonomi yang begitu dahyat.
Tinjauan lebih tepat terhadap akar segala persoalan krisis yang terjadi akibat Orde Baru telah memutus mata rantai historis dengan pemikiran para pendiri bangsa seperti Radjiman Wedyodiningrat, Bung Karno, Bung Hatta, Soepomo, Prof. Moh. Yamin, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, AA Maramis dll. Daripada menggali pemikiran penuh kebijakasanaan tersebut, Orde Baru lebih asyik membelokkan sejarah dan merancang proyek de-Sukarnoisasi.
Desukarnoisasi adalah proyek politik masif yang dijalankan secara sadar. Dalam prosesnya munculah kaum oportunis yang didorong oleh kepentingan praktis seperti adanya hasrat seorang rektor perguruan tinggi negeri untuk diangkat menjadi Menteri Pendidikan RI dengan “jasa” menghilangkan sejarah Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Inilah yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
Ketika atas kekuasaan, Indonesia melepaskan diri dari ide, gagasan, cita-cita, pemikiran, dan perjuangan Bapak Bangsa Indonesia dampaknya sangatlah fatal. Padahal keseluruhan pemikiran Bung Karno tentang bangsa dan negara Indonesia digali secara jernih dengan mensintesakan sejarah nusantara dan peradaban dunia. Terlebih jika melihat bagaimana sejak usia 16 tahun Bung Karno sudah berjuang bagi kemerdekaan bangsanya dengan risiko keluar masuk penjara. Ketika semua dikubur, maka Indonesia pada masa orde baru pun bagaikan berdiri di atas tanah pasir yang setiap saat mudah tergerus gelombang sebagaimana halnya krisis moneter tahun 1987 yang berubah cepat menjadi krisis ekonomi dan krisis politik.
Dengan setting keterputusan sejarah pendirian bangsa, dan dihilangkannya Sukarno dari sejarah kemerdekaan bangsa, maka ketika reformasi mengganti wajah dan praktek demokrasi Indonesia menjadi ala Amerika, lengkap sudah keterputusan sejarah itu. Indonesia pun bagaikan melangkah tanpa pijakan yang kuat dan gamang dengan masa depannya serta mudah terombang-ambing pada tarik menarik kepentingan global. Dampaknya, Indonesia tidak lagi memimpin pergerakan dunia, tetapi menjadi alat bagi kepentingan bangsa lain sampai Vanuatu pun berani menggertak Indonesia di PBB. Akibat lebih lanjut, spirit, watak, dan karakter bangsa pejuang yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara bergeser menjadi kepentingan pribadi dan kelompok. Sejarah selanjutnya mencatat bagaimana Reformasi mengukuhkan tatanan one man one vote one value, serta menghadirkan aktor di luar negara dengan nilai-nilai profesionalitas, independensi, dan transparansi, namun toh tetap digerakkan oleh kepentingan yang ujung-ujungnya adalah kapital.
Dalam masa reformasi itu, liberalisasi berjalan semakin dahyat ketika SBY memimpin selama 10 tahun dan menginisiasi sistem proporsional terbuka, yang diikuti liberalisasi perdagangan dengan bea masuk yang sangat rendah untuk impor pangan. Di sinilah kapitalisme dan liberalisme semakin melembaga. Terlebih ketika garis kebijakan luar negeri sekedar main aman dengan gagasan 1000 Friends, Zero Enemy. Dalam kebijakan main aman ini, kepemimpinan Indonesia bagi dunia pun semakin kehilangan daya juangnya ketika politik luar negeri bebas dan aktif hanya dimaknakan sebagai politik netralitas. Pada jaman ini, kepemimpinan bagi dunia direduksi dalam inisiatif seminar internasional melalui Bali Democracy Forum, yang tetap tidak mampu mengangkat roh kepemimpinan Indonesia di dunia internasional.
Spirit kepemimpinan Indonesia muncul sebagai harapan ketika Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Gagasan Jokowi ini tidak terlepas dari benang merah pemikiran geopolitik Sukarno yang sejak awal berteriak lantang tentang kepemimpinan Indonesia dengan me-leverage posisi geopolitik yang strategis di antara dua benua dan dua samudera.
Namun upaya Presiden Jokowi tidaklah mudah. Sebab kultur politik, ekonomi dan budaya Indonesia sudah terlanjur berubah menjadi kapitalistik dalam praktek. Peran yang begitu penting dari doktrin Indonesia Poros Maritim Dunia (IPMD) nampak ketika upaya menggali spirit kepemimpinan itu dilakukan dengan menetapkan kembali 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Di sinilah IPMD mendapatkan ruhnya dari Pancasila sebagai pandangan geopolitik Indonesia terhadap dunia, meskipun doktrin poros maritim dunia tersebut belum sepenuhnya dijabarkan secara teknokratik ke dalam national interest yang diikuti perubahan paradigma pembangunan, sistem ekonomi, sistem budaya, sistem pertahanan dan strategi pertahanan, hingga orientasi di dalam mendayagunakan seluruh potensi maritim beserta kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya.
Dalam konteks memberi pemaknaan secara ideologis atas konsepsi IPMD tersebut sangat tepat jika keseluruhan pemikiran Geopolitik Bung Karno (GBK) diangkat kembali, lengkap dengan seluruh spiritnya untuk membangun kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Dengan mengangkat keseluruhan substansi GBK, akan dapat ditemukan imajinasi geopolitik Sukarno. Imajinasi geoplitik Bung Karno sebenarnya bisa begitu mudah ditemukan dari pidato-pidato Bapak Bangsa Indonesia tersebut yang selalu bergelora, penuh daya pikat hingga seolah menghinoptis rakyat Indonesia dan dunia.
Dalam Pidato Indonesia Menggugat tahun 1930 misalnya, Bung Karno sudah menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia akan terjadi ketika Pasifik membara akibat pertarungan negara-negara kapitalis yang dipengaruhi oleh pemikiran Halford Mackinder untuk menguasai pusat geopolitik dunia, ataupun paham Karl Haushofer untuk memperluas ruang hidup dengan mencari tanah jajahan, ataupun karena logika kapitalisme di dalam mencari sumber bahan baku dan pasar. Bisa juga digerakkan oleh tekad membangun hegemoni dunia dengan menguasai koridor strategis perdagangan dunia sebagaimana dilakukan oleh Inggris yang kemudian melahirkan teori Sea Power oleh Alfred T. Mahan, yang kemudian dianut oleh Amerika Serikat. Apapun teori yang dipakai, bagi Sukarno, baik kapitalisme-liberalisme maupun komunisme kesemuanya mengandung benih-benih kolonialisme dan imperialisme yang sangat menyengsarakan bangsa-bangsa terjajah.
Atas hegemoni bangsa-bangsa maju tersebut yang tidak hanya menguasai pasar, sumber daya, koridor strategis, namun juga menguasai alam pikir dan kebudayaan global, Bung Karno dengan sangat cerdas merumuskan pemikiran geopolitiknya dengan berbagai dalilnya yang luar biasa. Pertama, pemikiran Geopolitik Bung Karno (GBK) didasarkan pada ideologi Pancasila. Kedua, GBK bertujuan membangun tata dunia baru dimana Pancasila menjadi tahapan lebih lanjut (sublimasi), bahkan puncak dari ideologi-ideologi besar yang ada saat itu. Ketiga, GBK mendasarkan postulat bahwa dunia akan damai apabila terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Keempat, GBK membangun solidaritas antar bangsa untuk mengedepankan ko-eksistensi damai menghadapi realitas dunia yang anarkis. Kelima, kalau Barat selalu mencoba memaksakan demokrasi suatu negara, maka GBK sebaliknya, memerjuangkan struktur dunia yang demokratis.
Ketika prinsip-prinsip GBK yang dijalankan dalam kepiawaian diplomasi internasional, diplomasi pertahanan, dan ide-ide sebagai inspirasi tersebut menjawab berbagai problematika dunia saat itu, serta kemampuan melakukan kerjasama dan aliansi strategis melalui Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, gerakan the New Emerging Forces, serta Konferensi International Anti Pangkalan Militer Asing, maka kepemimpinan Indonesia pun diakui dunia. Dengan pengakuan ini, otomatis spirit yang ada akan mendorong kepemimpinan di bidang lain seperti budaya, olah raga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, militer dll. Kepemimpinan Indonesia di seluruh aspek kehidupan bagi dunia inilah yang seharusnya dikobarkan. Di sinilah memahami Pemikiran Geopolitik Bung Karno dan keseluruhan imajinasinya sangat penting agar bangsa ini bertindak ke luar, bukan saling menjatuhkan ke dalam. Sebab Indonesia adalah bangsa besar dan sudah selayaknya berjuang, bertindak sebagai bangsa besar. Selamat datang pemikiran GBK dengan seluruh daya imajinasinya, untuk diterjemahkan kembali relevansinya bagi para pemimpin bangsa.
Merdeka!!!
0 Comments