PALANGKA RAYA – Bencana kebakaran hutan dan lahan serta asap yang terjadi setiap tahun di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) berdampak tidak hanya pada masalah hutan dan lahan, namun juga merusak lingkungan dengan menurunnya biodiversitas serta meningkatkan emisi karbon.
Selain itu, banyak aspek kehidupan masyarakat yang terganggu seperti masalah kesehatan, transportasi dan ekonomi, bahkan pada bencana kebakaran dan asap tahun 2015 telah mengganggu aktifitas pendidikan dan berlangsungnya kegiatan pemerintahan dan aktifitas masyarakat secara global.
Staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia (SDM), Herson B. Aden menyatakan, bencana kebakaran hutan dan lahan serta bencana kabut asap terjadi salah satunya disebabkan karena ekosistem gambut yang sudah rusak.
“Ekosistem gambut alami yang selalu basah dan tergenang air telah berubah menjadi kering karena dibuatnya kanal-kanal untuk mengeringkan dan menguras air gambut untuk tujuan berbagai kepentingan. Baik program Pemerintah, budidaya masyarakat, perusahaan atau kegiatan lainnya,” jelasnya dalam rapat koordinasi tim restorasi gambut daerah Kalteng, di Hotel Swiss-Belhotel Palangka Raya, Senin 22 November 2021.
Faktanya, gambut Kalteng telah mengalami kerusakan, air muka tanah gambut sudah dibawah baku mutu kerusakan gambut 0,4 m di bawah permukaan tanah. Hal ini menyebabkan gambut rawan terjadi kebakaran dan fungsi gambut menjadi hidrofobik, yaitu kondisi gambut yang tidak dapat menyerap air (menolak air). Kejadian ini menjadi salah satu penyebab bencana banjir yang sering melanda Kalteng akhir-akhir ini.
“Mitigasi dan persiapan adalah salah satu kunci dalam penanganan bencana kebakaran, asap, dan banjir. Beberapa kegiatan termasuk di dalamnya meliputi intervensi fisik pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, pembuatan kebijakan, peningkatan kesadaran melalui edukasi dan sosialisasi, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan bisa juga pengarusutamaan informasi dalam menjaga dan melestarikan Sumber Daya Alam (SDA) khususnya wilayah hutan dan ekosistem gambut yang mudah terbakar,” pungkas Herson.
Sehingga, dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terpadu, terarah dan menyeluruh, Presiden telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016.
Namun, pada tahun 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 120, BRG berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk masa kerja tahun 2021-2024. BRGM bertugas memfasilitasi percepatan pelaksanaan restorasi gambut, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada areal restorasi gambut 1,2 juta hektare di tujuh provinsi, serta melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove 600.000 hektare di sembilan provinsi. Provinsi Kalteng hanya masuk dalam target provinsi restorasi gambut.
“Program Kegiatan restorasi gambut memerlukan kerja sama dan dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi dan kelompok masyarakat sipil,” ujar Herson.
Oleh sebab itu, rapat koordinasi ini sebagai bentuk koordinasi dan sarana penyampaian informasi program dan kegiatan terkait kebijakan, program, serta kegiatan restorasi gambut kepada para pihak dan membangun kesepahaman bersama terhadap peran, tugas serta fungsi masing-masing pihak dalam kegiatan restorasi gambut, sekaligus menggalang dukungan dan komitmen bersama para pihak untuk keberhasilan restorasi gambut.
“Kami berharap, setelah acara rapat koordinasi ini kita semua dapat mendukung kegiatan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove serta satuan kerja Tugas Pembantuan, untuk melaksanakan tugas dan fungsinya agar dilaksanakan sebaik mungkin dan tepat sasaran,” harapnya.
(Deddi)
0 Comments