SAMPIT - Sengketa lahan berujung sumpah adat Dayak. Ketua DAD Kotim dan warga desa pelantaran menyaksikan prosesi hukum, usai sidang Basara Hai di Kerapatan Mantir Cempaga Hulu beberapa waktu lalu.
Sengketa kepemilikan lahan kebun sawit antara Alpin Laurence dan Hok Kim alias Acen belum menemukan titik terang, hingga akhirnya, kedua belah pihak memutuskan untuk disumpah adat Dayak, yang di laksanakan pada Minggu 30 Oktober 2022 lalu.
Sumpah adat tersebut dilakukan untuk membuktikan siapa kepemilikan sebenarnya, dari kedua belah pihak atas lahan yang terletak di Desa Pelantaran, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Ketua DAD Kotim, Untung dan puluhan personel Batamad, menyaksikan langsung prosesi sumpah adat Dayak yang menjadi jalan terakhir, setelah Hok Kim tidak menggubris hasil sidang Basara Hai yang digelar Kerapatan Mantir Cempaga Hulu, beberapa waktu lalu. Dari sidang adat yang dipimpin Damang, Duwin itu diputuskan jika lahan seluas 600 hektar merupakan milik dari Alpin Laurence bersama dua rekannya.
Ketua DAD Kabupaten Kotim mengatakan sumpah adat merupakan jalan terakhir dalam permasalahan ini dan disepakati oleh kedua belah pihak. Sebelumnya sengketa lahan ini sudah diselesaikan oleh lembaga adat di Kecamatan Cempaga Hulu. Dari penyelesaian yang dipimpin Wahendri, ditolak oleh Alpin karena dianggap berpihak kepada Hok Kim alias Acen.
Atas keberatan itu, DAD Kotim melakukan supervisi terhadap putusan yang diterbitkan. Ternyata dari keputusan itu hakim adat tidak memenuhi syarat. Hakim adat yang memimpin persidangan Ketua Kerapatan Mantir adalah Damang, sedangkan Wahendri bukan damang.
Hasil supervisi kemudian diteruskan kepada damang Cempaga Hulu, Duwin yang segera membentuk mantir Basara Hai untuk mengadili. Hasil dari sidang adat diputuskan bahwa Alpin Laurence yang memiliki lahan ini.
Untung menambahkan, jika sumpah adat tersebut nyata terjadi maka kebun ini akan diambil alih oleh DAD Kotim dan diserahkan kepada pemilik sebenarnya yakni Alpin Laurence atas hasil sidang adat. Karena saat ini hukum tertinggi yang dipakai oleh kedua belah pihak adalah hukum adat.
Sementara itu, Alpin mengatakan, sumpah adat ini dilakukan karena pihaknya menjunjung tinggi adat Dayak di Kalimantan Tengah. Ia pun juga telah mengetahui konsekuensi dan akan ditanggung akibat dari sumpah itu sendiri.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, selama ini yang melakukan pembelian lahan adalah dirinya bersama Yansen dan Sujatmiko. Hok Kim sendiri dipercaya sebagai pengelola kebun.
Disisi lain, Muhammad Hendro, mantan manajer kebun mengatakan, selama ini dirinya hanya mengetahui jika bosnya dari kebun tersebut adalah Alpin, Yansen dan Sujatmiko. Sedangkan Hok Kim yang ia ketahui hanya sebatas mengantar dirinya dan temannya untuk membuka lahan .
(Surya Adi Winata)
0 Comments